Postingan

Menampilkan postingan dari 2015

"Semua Lelaki Sama Saja" katanya.

Oke, dipenghunjung tahun ini, gue mau ngisi dengan tema agak menggelitik sih. Hemm?!! Beberapa belakangan ini gue selalu mendengar anggapan dari para perempuan (korban PHP kali ya ckck) seperti ini bunyinya "semua lelaki itu sama aja!!". Pada dasarnya lelaki adalah makhluk simple, mereka bukan tipikal yang selalu berharap atau memberi harap. Jadi mereka gak pernah sedikit pun memberi sekedar harapan kosong belaka. Semua lelaki itu berbeda, ya memang beda lah. Ada banyak jenisnya, hihi dikira fauna kali ya. Ada yang ganteng ada yang jelek ada yang maho ada yang cuco ada yang gentle man ada yang cemen man dan ada yang lebih parahnya lagi lelaki yang gemar ngegosip ggrrrr :v. So, jangan pernah bilang semua lelaki itu sama aja ya girls ^_^ Makhluk yang bernama lelaki ini selalu mengedepankan logika ketimbang perasaan, you know?? Cause lelaki itu simple. Emm oke setelah gue telusuri dan mencari tahu dari berbagai sumber tentang makhluk yang satu ini, ada beberapa fakta-faktany

Terperangkap

Diujung jalan hanya ada kegelapan. Tak ada cahaya satupun, bahkan bulan pun tak mampu menerangi seakan berpihak hanya pada satu sisi. Hanya ada aku sendiri, sepi, dan sunyi. Tak jauh dari tempat aku berdiri terdengar suara bergema. Kini pandanganku mulai menjadi takut. Jantungku mulai tak seirama. Suara itu semakin mendekat, gendang telinga pun seakan pecah dibuatnya. 'Semoga telingaku tak putus' pikirku. Lima menit setelahnya suara itu pun menghilang, entahlah hilang bersama angin atau terbunuh bersama waktu yang membisu. Aku tak suka diam. Lalu aku berjalan lagi tanpa henti. Ya, meski aku tahu ini gelap aku berjalan merangkak tanpa peduli luka dikaki dan tangan yang mulai membeku. Tidak, ini tidak ada ujungnya. Mungkin salahku tak mengukur waktu dan berapa meter aku berjalan. Aku kembali, kembali ditempat aku setadi berdiri bersama suara yang menghilang tanpa permisi. Lalu aku berteriak sekencang-kencangnya, meneriakan atas sepi yang tak kunjung pergi. Aku hanya ingin ramai.

Bagai Daun

Aku seperti daun ... Melayang terbang tanpa arah dan tujuan. Mengikuti arah angin; berhembus seakan tak pasti. Aku berhenti dimana hingga semua terasa semu. Di ruang jingga aku terjatuh saat kata tertirah dan aku pun punah. Tanpa ada sisa;  hatiku menguning kering, layu tanpa guyuran hujan, tanpa ada yang menyirami kata-kata yang mempesona. Bagaikan daun kering; melayang ketika angin bertiup kencang. Melewati hari dengan menyendiri; merawat rindu dan lukanya sendiri, ialah aku yang kau tinggalkan tanpa permisi.

Kenapa bisa patah?

Apa itu? Kenapa retak gitu, kok gak beraturan? Kenapa berantakan, amburadul? Padahal mulanya gak remuk-redam, lah kok ini malah bolong-bolong sampai patah pula?! Siapa yang melakukannya? Oh pasti dia yang tidak bisa baca kamu sampai sekarang ya?! Kenapa dia berasumsi tanpa dugaan?! Apa dia bodoh ya?! Penyangkalannya terlalu keras. Jeritannya terlalu tajam setajam pisau, pasti setiap kamu dengar jeritannya kegelisahan kamu teriris tipis-tipis ya?! Yang sabar ya!!  Percuma saja, sudah patah tidak bisa berdiri utuh sempurna lagi!! Di ekspresikan saja, bagaimana? Pura-pura semua dalam keadaan baik-baik saja, karena kan manusia tidak pandai dalam memakai nuraninya sendiri. Dia tidak sengaja, hanya empati atasmu. Emm... Tapi katanya rasa ini selayaknya membebaskan. Lah kok kesabaran kamu malah kamu tambal batas. Sekarang dia pergi kemana? Oiya palingan sama dengan yang lainnya. Mematahkan tanpa meminta maaf, iya kan kamu hanya dijadikan persinggahan sementaranya tanpa kamu sadari

Sampai Hati

Gambar
Ah kamu ini!! Isyaratku menunjukkan aku sudah benar-benar bangkit dari kecemasan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan kembali. Kamu berhasil membuat hujan yang kunantikan berubah menjadi mentari untuk mencintai pelangi.  Simpulan senyumanmu membentuk skema, bentuknya pun cuma setengah lingkaran tapi indahnya bukan main. Lalu kamu datang menyelumatkan doktrin yang selama ini didasari sudut-sudut kepedihan. Wacanamu terhadap dunia begitu nyata hingga aku kalap terpikat kuat oleh logika. Kepiawaianmu menelisik sudut pandangku akan kekaguman dan kecerdasan tanpa aksi yang berlebihan. Kamu sadar? Rasa ini nyaris aku peluk sendirian. Kamu datang dalam diam. Ada rindu yang tak aku perlihatkan. Bukan, bukan itu. Ambigu menghantui rasa nyaman. Takut, ya takut jika kamu tertelan kembali oleh masa lalu mu (Re: trauma). Semoga setelah ini aku tak lupa untuk membenah dari hati yang salah. Ya.. Semoga saja.

Paranoid.

Gambar
                                        Setelah hari itu, muncul paranoid yang membuat kejamakan dramatisasi dari kisah yang tak benar-benar nyata. Sungguh keparnoan ingin mencekik leherku hingga mataku terbelalak seperti ingin loncat dari permukaannya. Aku tahu kamu tidak sepenuhnya terhadap aku. Penantianmu selalu aku jadikan prioritas dalam hidup untuk menikmatinya pun tak butuh persoalan yang rumit. Nyatanya, kamu membuat duniaku berhenti berputar, lagi dan lagi. Setengah dari jiwaku seakan melayang menghadap ke arah Tuhan sambil memincingkan mata yang siap-siap di penghakiman. Ah ini hanya ketakutan aku saja, terlalu takut disebut wadat. Logika sudah aku gantungkan dalam anomali, kini hanya hati yang berasumsi. Bosan aku dengan sombong yang mengatasnamakan egoisasi. Baiklah kekasih, kamu memang tidak ada dibagian paranoid. Silahkan pergi. Tak perlu pamit. Biarkan aku menikmati ketakutanku sendirian, kesusahpayahan dalam penyembuhan paranoid dan akan ku adukan diatas perapia

Menunggu Jodoh

Gambar
Gesekan diantara kedua sepatu mengiringi langkahku yang setadi sudah memang hilang arah tujuan, membawaku pada satu tempat. Tempat dimana, aku selalu menceritakan seluruh rahasia, doa, dan juga meneteskan air mata bersama angin yang tak lebih dari resonansi suara.  Aku selalu kembali kesini, berkali-kali setiap hari. Saat matahari mulai menenggelamkan dirinya, sebelum bulan bersifat melekat —adesi. Sebuah bangku memanjang, yang jelas tak sepanjang aku menunggu seseorang yang bernama jodoh. Aku menunggunya disini. Ya karena aku ingin punya cerita klasik diantara aku dan dia nantinya. Duduk bersisian membutakan waktu dengan ciuman. Sungguh romansa bukan?!  Tepat dengan satu tiang lampu taman yang tingginya dua kali lebih tinggi dari ukuran tubuhku. Sore itu, ia bebaskan aku berkelana dibawah senja yang begitu remang dan pada akhirnya tak meninggalkan apapun  selain ruang hati yang lenggang. Sementara, waktu masih menyembunyikan pertemuan perihal rindu juga cemburu. Ken

Meja kursi

Gambar
Seolah-olah meja kursi berbicara, menggunjingkan aku dan kamu yang sudah tak lagi menjadi kita. Mereka dengar dan lihat semua sore kita, dimana secangkir kopi yang pernah basahi bibir dibawah senja sebelum matahari mungil tergelincir. Dan pada akhirnya kamu yang buat secangkir kopi tumpah meruah ke mata meja; berantakan. Atas nurani yang tak sempat termaafkan atas bhakti yang tersesalkan, aku akui aku malu pada mereka untuk duduki dan singgahi mereka kembali.  Semenjak hari itu, kamu rusak senja sore kita. Aku menunggumu lelaki. Tapi kiranya kamu tak ingin pulang. Aku lihat ada meja kursi betatakan jati. Lebih indah bukan?!. Ya indah memang. Baiklah, silahkan nikmati senja soremu bersama dengan meja kursi jati barumu. Aku tak cemburu. Aku merasa ini adil. Aku bahagia, ya harus bahagia. Kamu bukan milik meja kursiku melainkan meja kusri dia.  Kisah meja kursi yang aku hafal kini aku lenyapkan. Tak ada lagi cerita atau dongeng meja kursi dengan diatasnya terdapat secangkir

Jika Jodoh Ditangan Tuhan, Mengapa Harus Ada Kata Pacaran?!

Entah berapa kali aku jumpai dua sejoli berseragam biru-putih. Mataku tertuju. Nguping bersahaja -telinga. Dunia milik berdua. Bagaimana tidak? Halte pertama sudah mereka cumbui sejak tadi, hingga bus melaju kencang pada kecepatan kilometer menuju pemberhentian terakhir. Mencoba membuka percakapan -mereka. "AYAH | IYA BUNDA" "SAYANG | IYA SAYANG" Seketika suasana berubah menjadi signifikan, sialnya lagi mereka duduk bersampingan denganku, aku tetap memandang keluar jendela bus -senandika. Celotehannya membuatku muak, menjurus mengenai hubungan yang begitu serius layaknya orang-orang yang sudah dewasa pada umumnya. Klise tapi nyata. Rasanya aku ingin marah kalau bisa sampai mulutku berbusa. "HEI PLIS DEK,  JIKA ADA SERIBU ANAK BANGSA SEPERTI KALIAN, CELAKALAH NEGERI INI" Itu gumam hatiku, tapi aku berubah pikiran. Sangat tidak lucu bila mereka menyelaku balik. " IRI YA KAK?!". Lah?! Sudahlah lebih baik aku buang jauh-jauh kalimat yang s

Titip Rindu Buat Putut.

Sudah lama putut tak ku jamahi Dari fajar hingga senja kembali Enam belas tahun menggantung pada anomali Hingga nyaris wajah samar yang dulu aku sempat kenali Mungkin, sekarang kamu sudah menjadi dewasa. Menjadi lelaki yang punya mimpi magis dalam menjelajahi dunia. Sudah pasti biologis membuatmu utuh sempurna, jakun dan kumis-kumis tipis yang mulai tumbuh dengan utuh. Tuhan, dimanapun putut berada aku titip rindu padanya. Langit saksinya, biar ia membacanya dalam puisiku. Biar manapun putut cinta pertama dalam dinding kelas yang bisu. Diantara putut dan aku... Dikota paling jauh, syairku berkelana menebas jarak hingga mencapai titik kulminasi yang bernama temu, denganmu. Jika satu hari sebelum kiamat, nikahilah aku menjadi mahligai. Biarpun singkat umurnya. Tapi jika tidak, tunggu aku di surga dalam pertemuan yang terindah kelak. Khusnul Khotimah...

Bolehkah Aku Marah?!

Bagaimana bisa sisa kemarahan kemarin sore yang belum terujarkan ini selesai? Ini sesal yang tak kesampaian meski tak pantas dipamerkan.  Mana aku tahu kesombongan aku ini mengutuk aku pada kesendirian. Lagi pula dukaku ini sebentar lagi riwayat; tamat dalam cinta yang sesat; sesaat. Ah marahku ini belum aku pergunakan sepenuhnya bukan untuk aku simpan melainkan mengenalkan aku pada sifat kedewasaan. Aku ingin marah. Tanyaku. Katamu; marahlah pada perempuan berbikini ketika aku sedang membuahi didepan matamu. Terlalu sulit. Muaklah pada lelaki yang menjadi banci yang selalu menawarkan selangkangannya kepada manusia yang besar nafsu semata. MARAH SAJA !!. Tangan ini tidak sempat mampir ke pipi kebanggaannya untuk menghadiahkan sebuah tamparan keras, jemariku melayang tertahan cukup lama. "Apa yang aku lakukan ini  bisa membuat harga diri aku terjatuh"  terbesit diotakku. Karena memang aku bukan si pemarah, tapi ekspresiku selalu salah. Ya salah... Jadi dari mana kamu tahu ak

Skuter Kuning

Aku menjumpaimu disudut bawah Ibu kota. Kamu terpajang manis diantara yang lainnya. Saat aku masuk, tahukah kamu aku mulai tertarik akan tekstur desainmu, warna unik ditubuhmu, suara bising mencamping kuping, dan bagian lainnya yang tak terlihat oleh ku. Aku berulang kali untuk tidak melirikmu tapi seperti ada logam magnet menyeret tubuhku untuk tetap memilihmu. Sepertinya kamu usang dan berdebu. Ah, pasti sudah lama si pemilik yang dulu menjualnya. Aku pun memutuskan untuk mulai memasuki kamu dalam kehidupanku. Dan aku pastikan pula tidak ada kerusakan pada mesin hatimu atau kenangan dengan si pemilik sebelumnya. Sungguh indah bukan bila aku dan kamu menjelajahi alam semesta.  Nyatanya, aku kalah memenangkanmu dalam hal ini. Si pemilik terdahulu datang kembali, ia merebutmu dariku. Siapa yang perduli, bahkan kamu pergi dan tak bisa kumiliki, aku hanya bisa gigit jari, iri :'( .... Ia memang beda ia tahu cara menarik tali gas seorang perempuan dengan tepat. Ia paham akan k

Hijaiyah Cinta

Aku bertanya pada 'alif' yang berdiri di barisan paling depan, mengapa 'bak' selalu bersiul menggoda hingga aku dibuat jatuh olehnya?. Ia mencoba menawarkan 'tak' mengamnesiakan air mata, kemudian menawarkan lagi huruf 'tsa' yang katanya selalu menyisipkan kisah sederhana. Atau setidaknya untuk memilih 'jim' yang selalu jatuh cinta padanya secara perlahan-lahan yang tak mungkin tertiup angin. Ya aku tak memilih atas apa-apa yang kau tawarkan, enggan!!. Mungkin setelah itu 'hak' datang, membawaku untuk duduk bersama agar 'kha' tahu jatuh cinta itu tak dapat di lafadzkan sendirian. Entalah pikiran aku tertinggal pada saktah yang kutitipkan pada 'dal' dan 'dzal' yang selalu rumit menggubris di kedua huruf 'ra' dan 'zai' yang jelas-jelas sudah ku dhomahkan. Aku mencoba untuk melihat 'sin' yang kau tandai di punggungmu, dan 'syin' direbah dadamu. Dan sesekali aku mengargumentasikan '

Bunga Di Tepi Jalan

Ia memang tak semenawan mawar.  Ia memang tak seharum melati,  dan tidak pula seunik anggrek. Ia hanya ingin sama dengan yang lainnya mendapatkan posisi dalam sejuta pesona diagungkan oleh tuannya.  Mungkin ia aneh, janggal dari bunga lainnya oleh karenanya tumbuh di tepian jalan.  Ia hanya ingin diingat selayaknya. Tapi siapa ia? Hanya kelopak bertatakan daun menguning berdiri pada batang yang bergeming. Namun sungguh ia sangat setia, terus saja menjaga alam semesta sebagai pusat kehidupannya. Iri, dipertepian ia muram hanya ada udara-udara yang gagap, bisikan hatinya setengah terluka sebab sepi diselasar sunyi yang kalap. Namun ia bebas berkelana dibawah hujan yang begitu lebat menaungi tempat-tempat keramat. Keberadaannya tak jelas. Kadang di kota kecil yamg dilupakan letak persisnya dimana, kadang pula dikota senja yang dirajam sunyi sepi.  Seaneh apapun dirinya, seburuk apapun bentuknya walau tanpa sebutan nama, ia akan tetap terus mekar bergadang hingga merekah. Ia t

Siapa Bilang Semua Lelaki Sama?

Gak sama, saat yang satu mempertahankan tapi yang satunya meninggalkan. Gak sama, ketika yang satu begitu menghormati pasangan tapi yang satunya lagi malah merebut kehormatan pasangan.  Gak sama, saat yang satu sibuk mencari wanita berpakaian kurang bahan tapi yang satunya lagi bersabar atas jodoh yang di endorse Tuhan.             Oh lelaki...

Siapa aku?

Ya aku.. Aku hanya seorang perempuan kedinginan yang menunggu diantara hujan, terbujur kaku diantara semaian putri malu menggigil pada puisi yang berjejal bisu dipahatan batu. Aku ada disini, dikawanan semut hitam. Aku berdiri paling depan agar mudah ditemukan. Tuan ketahuilah, aku bukan siapa aku. Aku bukan perempuan baik aku hanya ingin cinta dalam keabadian namun kenyataannya status ku tak jelas kadang disebut perempuan kenangan kadang hanya di tahbiskan sebagai makhluk khalik yang tak bertuan. Pantaskah ??

Fif,

Mungkin kamu benar fif, Tuhan mentakdirkan kita hanya untuk sekali bertemu tanpa menikmati waktu untuk duduk bersama didepan penghulu. Aku tidak benar-benar tahu siapa yang paling sedih bahkan dalam puisiku menuliskan namamu adalah satu-satunya caraku membuatmu abadi meski tak bisa kumiliki. Egois terkadang seperti kedua mata dan telinga, tak ingin ada mata dan telinga yang lainnya egois selalu menang dalam hal ini fif, segala kenang tentangmu fif yang membuatku tak bisa melihatmu dengan baik akan selalu kusimpan dengan rapi dalam ingatan meski ragamu hanya bisa kupandang dari kejauhan. Warung lesehan ini fif, berlari ke masa lalu. Dimana kita pernah duduk bersisian mesra mendebarkan dua dada. Ingatkah itu fif ??!! Ah sudahlah... Untuk kisah yang tak terselesaikan hari ini, esok, lusa, juga selamanya aku keluh kesahkan pada gelar sajadah panjang, cinta yang baik pasti tahu jalan pulang. Tak perlu cemas percaya, doa, dan penuntunnya.                                

Aku Tolol

Ya... Sungguh konyol. Aku merasa tolol. Berontak saja. Cabik-cabik tubuhku, sayat kulitku dengan pisau iris tipis-tipis hingga habis. Dewasalah aku telah diperkenalkan pada kehilangan yang disamarkan dalam nyata yakni kamu. Tuhan berkatilah aku.  Katamu; aku ini Anjing yang puas hingga buas kau kencingi. Katamu; berubah saja jadi wanita sembah agar kau memperbudak dengan mudah. Jangan benci padaku, aku ngerti. Cukup kau ucap santun tak perlu kau curigai. Dan silahkan kau pergi.  Sementara aku dan kataku; Wanita tua putus asa pasti lekas sembuh dari sakitnya hati...

Menjalin rasa menjamin asa.

Rasanya mungkin tak lagi sama, setelah kamu pergi lalu kembali mengharapkan hubungan yang tak sempat terselesaikan ini kembali dirajut kasih. Rasanya mungkin tak lagi sama, ketika kamu menghubungi aku kembali walaupun hanya sekedar untuk mengingatkan aku untuk makan. M ungkin perasaan ku sudah menjadi asa. Keasaan inilah yang menyimpan aku sebelum menemuimu jauh-jauh agar ketika melihatnya kembali lagi, tak mengingat masa lalu.  Pada saat kamu pergi, aku memohon dan meminta padamu untuk menjelaskan apa-apa yang tak aku mengerti pada sikapmu saat itu. Tapi sepertinya kamu terlalu tidak perduli terlalu bodo amatan. Kamu bilang tak ada yang perlu dibicarakan lagi dan ada satu kalimat yang membuat aku bertanya-tanya 'kamu terlalu baik untuk aku, din'. Oh.. Jadi karna aku terlalu baik lantas kamu pergi. Okelah besok aku jadi tukang begal saja?!! Ya aku jahat. Jadi kamu tak pergi dariku. Tapi terlanjur kau sudah mengenaliku pada luka. Maafkan aku yang kala itu tak pintar dalam