Menunggu Jodoh
Gesekan diantara kedua sepatu mengiringi langkahku yang setadi sudah memang hilang arah tujuan, membawaku pada satu tempat. Tempat dimana, aku selalu menceritakan seluruh rahasia, doa, dan juga meneteskan air mata bersama angin yang tak lebih dari resonansi suara. Aku selalu kembali kesini, berkali-kali setiap hari. Saat matahari mulai menenggelamkan dirinya, sebelum bulan bersifat melekat —adesi. Sebuah bangku memanjang, yang jelas tak sepanjang aku menunggu seseorang yang bernama jodoh. Aku menunggunya disini. Ya karena aku ingin punya cerita klasik diantara aku dan dia nantinya. Duduk bersisian membutakan waktu dengan ciuman. Sungguh romansa bukan?! Tepat dengan satu tiang lampu taman yang tingginya dua kali lebih tinggi dari ukuran tubuhku. Sore itu, ia bebaskan aku berkelana dibawah senja yang begitu remang dan pada akhirnya tak meninggalkan apapun selain ruang hati yang lenggang. Sementara, waktu masih menyembunyikan pertemuan perihal rindu juga cemburu. Ken