Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2015

Bunga Di Tepi Jalan

Ia memang tak semenawan mawar.  Ia memang tak seharum melati,  dan tidak pula seunik anggrek. Ia hanya ingin sama dengan yang lainnya mendapatkan posisi dalam sejuta pesona diagungkan oleh tuannya.  Mungkin ia aneh, janggal dari bunga lainnya oleh karenanya tumbuh di tepian jalan.  Ia hanya ingin diingat selayaknya. Tapi siapa ia? Hanya kelopak bertatakan daun menguning berdiri pada batang yang bergeming. Namun sungguh ia sangat setia, terus saja menjaga alam semesta sebagai pusat kehidupannya. Iri, dipertepian ia muram hanya ada udara-udara yang gagap, bisikan hatinya setengah terluka sebab sepi diselasar sunyi yang kalap. Namun ia bebas berkelana dibawah hujan yang begitu lebat menaungi tempat-tempat keramat. Keberadaannya tak jelas. Kadang di kota kecil yamg dilupakan letak persisnya dimana, kadang pula dikota senja yang dirajam sunyi sepi.  Seaneh apapun dirinya, seburuk apapun bentuknya walau tanpa sebutan nama, ia akan tetap terus mekar bergadang hingga merekah. Ia t

Siapa Bilang Semua Lelaki Sama?

Gak sama, saat yang satu mempertahankan tapi yang satunya meninggalkan. Gak sama, ketika yang satu begitu menghormati pasangan tapi yang satunya lagi malah merebut kehormatan pasangan.  Gak sama, saat yang satu sibuk mencari wanita berpakaian kurang bahan tapi yang satunya lagi bersabar atas jodoh yang di endorse Tuhan.             Oh lelaki...

Siapa aku?

Ya aku.. Aku hanya seorang perempuan kedinginan yang menunggu diantara hujan, terbujur kaku diantara semaian putri malu menggigil pada puisi yang berjejal bisu dipahatan batu. Aku ada disini, dikawanan semut hitam. Aku berdiri paling depan agar mudah ditemukan. Tuan ketahuilah, aku bukan siapa aku. Aku bukan perempuan baik aku hanya ingin cinta dalam keabadian namun kenyataannya status ku tak jelas kadang disebut perempuan kenangan kadang hanya di tahbiskan sebagai makhluk khalik yang tak bertuan. Pantaskah ??

Fif,

Mungkin kamu benar fif, Tuhan mentakdirkan kita hanya untuk sekali bertemu tanpa menikmati waktu untuk duduk bersama didepan penghulu. Aku tidak benar-benar tahu siapa yang paling sedih bahkan dalam puisiku menuliskan namamu adalah satu-satunya caraku membuatmu abadi meski tak bisa kumiliki. Egois terkadang seperti kedua mata dan telinga, tak ingin ada mata dan telinga yang lainnya egois selalu menang dalam hal ini fif, segala kenang tentangmu fif yang membuatku tak bisa melihatmu dengan baik akan selalu kusimpan dengan rapi dalam ingatan meski ragamu hanya bisa kupandang dari kejauhan. Warung lesehan ini fif, berlari ke masa lalu. Dimana kita pernah duduk bersisian mesra mendebarkan dua dada. Ingatkah itu fif ??!! Ah sudahlah... Untuk kisah yang tak terselesaikan hari ini, esok, lusa, juga selamanya aku keluh kesahkan pada gelar sajadah panjang, cinta yang baik pasti tahu jalan pulang. Tak perlu cemas percaya, doa, dan penuntunnya.                                

Aku Tolol

Ya... Sungguh konyol. Aku merasa tolol. Berontak saja. Cabik-cabik tubuhku, sayat kulitku dengan pisau iris tipis-tipis hingga habis. Dewasalah aku telah diperkenalkan pada kehilangan yang disamarkan dalam nyata yakni kamu. Tuhan berkatilah aku.  Katamu; aku ini Anjing yang puas hingga buas kau kencingi. Katamu; berubah saja jadi wanita sembah agar kau memperbudak dengan mudah. Jangan benci padaku, aku ngerti. Cukup kau ucap santun tak perlu kau curigai. Dan silahkan kau pergi.  Sementara aku dan kataku; Wanita tua putus asa pasti lekas sembuh dari sakitnya hati...

Menjalin rasa menjamin asa.

Rasanya mungkin tak lagi sama, setelah kamu pergi lalu kembali mengharapkan hubungan yang tak sempat terselesaikan ini kembali dirajut kasih. Rasanya mungkin tak lagi sama, ketika kamu menghubungi aku kembali walaupun hanya sekedar untuk mengingatkan aku untuk makan. M ungkin perasaan ku sudah menjadi asa. Keasaan inilah yang menyimpan aku sebelum menemuimu jauh-jauh agar ketika melihatnya kembali lagi, tak mengingat masa lalu.  Pada saat kamu pergi, aku memohon dan meminta padamu untuk menjelaskan apa-apa yang tak aku mengerti pada sikapmu saat itu. Tapi sepertinya kamu terlalu tidak perduli terlalu bodo amatan. Kamu bilang tak ada yang perlu dibicarakan lagi dan ada satu kalimat yang membuat aku bertanya-tanya 'kamu terlalu baik untuk aku, din'. Oh.. Jadi karna aku terlalu baik lantas kamu pergi. Okelah besok aku jadi tukang begal saja?!! Ya aku jahat. Jadi kamu tak pergi dariku. Tapi terlanjur kau sudah mengenaliku pada luka. Maafkan aku yang kala itu tak pintar dalam