Pengangguran Juga Manusia, Bukan?



Wajah anak manusia. Dengan tekad menaungi sang pagi yang sedang asyik bercumbu ria dengan embun. Jiwanya memaksa untuk menyentuh titik didih kesabaran. Tersembunyi dari muka yang masih sangat muda terlihat fluktuatif. Disana, tersimpan secuil do'a dari singgungan sudut-sudut bibir agar Tuhan memberikan suatu garis yang lurus untuk kehidupan hari ini.

Bermodalkan seragam putih dan celana hitam, sibuk menggandeng senin menebar surat lamaran — bergumul dikepala. Dengan harapan mendapati untuk duduk dikursi wawancara.

Begitu rapatnya jalan raya Ibu Kota. Berteman dengan klakson yang semerawut karut-marut bergendang ditelinga. Langkah mulai gontai memberanikan diri dari sang peringai. Satu persatu menggedor-gedor gerbang besi yang tingginya dua kali lipat dari tinggi ukuran manusia dewasa, penjagaannya dijaga ketat oleh penjagaan ratusan kali lipat. Jawaban pun diterima dari abjad-abjad yang menandakan penolakan atau tidak adanya lowongan kerja.

Terhenti; ya terhenti di tepian jalan di bawah pohon yang usianya sudah tua bahkan mungkin usianya sudah ratusan daunnya mulai menguning. Awan gelap menggelayut memudarkan pesona cerah, tarik ulur cuaca menyiratkan pergulatan. Mungkinkah hujan segera turun atau seperti kemarin yang menceritakan teriknya panas matahari seolah menyuguhkan perjuangan.

Membumbungkan kepala ke atas langit, meranggas tanpa batas memaki tanpa henti. Menghardik semesta yang tatkala tidak adil pada orang kecil. Selembar ijazah pun tidak laku bila tidak ada jalur nepotisme atau suap-menyuap yang sudah menjadi simbol di negri ini. Bahkan setelah media massa memberitakan seorang bergelar sarjana memutuskan untuk berhenti bermimpi dan menggantungkannya pada sebuah tali.
Sedangkal itu kah?!





Bangkit dan pergi. Kembalilah pada jiwa benteng kokoh tanpa memperoleh peluh dari keluh. Rezeki Tuhan amat luas. Simetris tetap pada garisnya. Tidak perlu tertunduk dan menangisi diri sendiri, selalu sisipkan tawa pada bagian jiwa yang membeku lalu lampirkan rapuhnya hati serapuh-rapuhnya; dalam do'a. Karena selalu ada malaikat yang mengamini setiap do'a.

Salam amplop coklat.






   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Terbuka Untuk Ajun

Menunggu Jodoh

BrowniesCupCakeMoist