Merubah Prinsip



Hari minggu ini, saya mendatangi sebuah tempat di mana orang-orang menghabiskan waktu dengan berolahraga atau biasa disebut dengan Car Free Day. Selain tempat untuk membakar kalori-kalori nakal, ternyata tempat tersebut bisa juga jadi ladang untuk mencari rejeki untuk para pedagang. Ya saya ke sana juga bermaksud survey tempat atau lokasi untuk membuka lapak dagangan yang saya baru rintis sebulan ini sih mhehee...

Hari ini, saya diperlihatkan oleh Tuhan sebuah pemandangan yang membuat saya terdiam sejenak. Saya mencoba berpikir dengan cara menyegarkan pikiran saya berkali-kali. Mungkin memang sudah bukan hal yang biasa lagi di lingkungan kita seperti di Indonesia ini. Ada satu pedagang yang membuat saya melihat tanpa mampu berkedip, berbicara tanpa mampu untuk berkata-kata, dan seolah-olah mampu untuk menghentikan jam yang berdetik.

Seorang kakek dengan pakaian agak lusuh, banyak kerutan-kerutan didahinya, begitupun warna rambut yang sudah tidak hitam lagi. Duduk di sisian jalan sambil menjajakkan dagangan. Yang dibilang seharusnya dimasa senja menikmati apa yang ia tanam diwaktu muda, tapi malah sebaliknya. Dia menjual sapu lidi, ya memang penghasilan tidak sesuai dengan apa yang dia kerjakan. Beliau duduk dengan tatapan mata kosong menyilangkan kedua kakinya, entah apa yang ia pikirkan. Bisa jadi dipikirannya sedang berantakan seperti saat Spongebob Squarpants yang diisi kepalanya hanya ada kertas ujian mengemudi kapal dan terbakar. 

Saya salut dan saya kalah dengan beliau yang sudah tua. Saya akui, saya bersaing dengan tetangga saja rasanya saya ingin mundur dari dunia wirausaha. Seolah-olah rejeki saya akan diambil oleh tetangga saya. Bodoh saya, padahal saya ini adalah hamba dari sang maha kaya. Yang saya lakukan hanya mengeluh tanpa mau mencoba melakukan apa yang dilakukan si kakek. Beliau berani mengambil action atau tindakan tanpa memikirkan apa saja risk yang ada, bisa saja ia tidak laku hari itu tapi ia coba lagi dan lagi.

Saya sempat ragu, apakah saya mampu? Apakah saya bisa? Saya tidak mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Banyak nyinyiran yang saya dapat, dan ini membuat saya merasa jatuh sejatuhnya. Sedih memang, tapi kesedihan itu tidak ada apa-apanya dibandingkan perjuangan kakek untuk anak dan istrinya. Saya harus rubah prinsip saya. Saya terlahir dari keluarga yang dibilang mampu bukan berarti saya harus manja, berleha-leha, dan berfoya-foya. 

Tuhan, terima kasih karena-Mu saya menjadi pribadi yang mandiri.

Komentar

  1. pasti mampu, asal tidak pantang menyerah, enak dibaca tulisanya

    salam kenal dari admin

    https://lukmanfiless.blogspot.com/

    salam silaturahmi

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Terbuka Untuk Ajun

Menunggu Jodoh

BrowniesCupCakeMoist